Jumat, 20 Agustus 2010

Jenazah Koruptor Tak Perlu Disalatkan Ulama?

Share

Nadhlatul Ulama (NU) mengeluarkan imbauan bahwa ulama tidak perlu mensalatkan jenazah koruptor. Alasannya, korupsi adalah kejahatan kemanusiaan yang luar biasa.

Seruan NU itu dilontarkan oleh Sekretaris Jenderal Katib NU, Malik Madany, saat peluncuran buku 'Koruptor itu Kafir' Rabu 18 Agustus 2010 malam. "Para koruptor itu tidak perlu disalatkan para ulama, karena ulama itu para pewaris Nabi. Jadi cukuplah semacam Banser dan Garda Bangsa saja yang mensalatkannya."

Pernyataan Malik ini didasarkan pada hadist Nabi tentang seorang sahabat yang gugur di medan perang. Saat itu, kata dia, Nabi Muhammad SAW meminta orang lain mensalatkan jenazah sang sahabat itu. Para sahabat lain penasaran. Mereka lalu bertanya kepada Nabi apa alasannya.

"Nabi Muhammad menjawab, itu karena sang jenazah telah menggelapkan harta rampasan perang. Setelah dicek ditemukan manik-manik seharga tak lebih dua dirham," Malik menuturkan.

Seruan NU itu pun menuai pro dan kontra. Dukungan dilontarkan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW). Koordinator ICW, Danang Widoyoko, menilai imbauan NU itu akan mengancam para koruptor untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi.

"NU jelas memberikan hukuman sosial kepada mereka yang terlibat korupsi," kata Danang saat dihubungi VIVAnews.

Meski mendukung, Danang melihat pelaksanaan dari imbauan itu tidaklah mudah. "Biasanya mereka yang korupsi itu punya banyak pengaruh, banyak pendukung, bahkan punya kekuatan finansial," kata Danang.

Koruptor juga manusia

Majelis Ulama Indonesia (MUI) tak sepakat dengan seruan NU. MUI menilai mensalatkan jenazah seseorang yang beragama Islam, meskipun dia koruptor, hukumnya fardhu kifayah, atau wajib dikerjakan meski oleh sebagian muslim.

"Jangan melarang orang untuk mensalatkan jenazah. Orang Islam itu tetap harus disalatkan. Kalau tidak ada yang salatkan, dosa kita," kata Ketua Bidang Fatwa MUI Ma'ruf Amin kepada VIVAnews. "Imbauan itu tidak relevan. Untuk menjerakan koruptor bukan dengan cara itu."

Menurut Ma'ruf, yang harus disoal adalah hukumannya di penjara, bukan masalah disalatkan atau tidak. "Urus bagaimana cara menghukumnya di penjara," kata Ma'aruf.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nasir Djamil, menentang imbauan NU itu. "Dalam agama yang tidak boleh disalatkan adalah orang munafik. Yang tahu munafik itu hanya Nabi Muhammad," kata Nasir Djamil kepada VIVAnews.

Menurut Nasir imbauan NU itu terlalu jauh. Menurut Nasir, pada dasarnya dia setuju koruptor perlu dihukum berat. Tetapi, bila masuk ke sendi agama itu berlebihan. "Koruptor juga manusia. Perlu juga diperlakukan secara manusiawi," ujar anggota Komisi III DPR itu.

Apalagi, Nasir melanjutkan, mereka yang terganjal dan divonis kasus korupsi belum tentu bersalah. Dia memisalkan, jika ada yang tidak suka dengan si fulan, lalu bekerjasama dengan penegak hukum, maka si fulan pun dijerat perkara korupsi. "Kadang yang benar juga bisa jadi salah," ujarnya.

Politisi dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga mengkritisi imbauan NU tersebut. Wakil Sekretaris Jenderal PPP, Romahurmuziy, menilai himbauan itu tidak memiliki dasar hukum. "Kalau koruptor tidak disalatkan, lantas siapa yang mensalatkan?" kata politisi yang biasa disapa Rommy itu.

Menurutnya, meskipun koruptor meninggal dalam keadaan korup dan maksiat, namun selama ia muslim maka dia tetap harus disalatkan. Dia berpendapat akan lebih efektif apabila NU mengimbau koruptor dihukum mati, atau potong tangan. "Nanti pasti banyak orang yang takut," kata Rommy, yang besar dalam keluarga bertradisi NU itu.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum PAN, Dradjad Wibowo, meminta persoalan jenazah koruptor itu dikembalikan ke hukum fiqih yang berlaku dalam Islam. "Dalam fiqih kan sudah jelas mana yang tidak boleh disalatkan. Jadi sesuaikan fiqih saja," kata Dradjad.

Kebablasan meskipun baik

Wakil Ketua DPR, Priyo Budi Santoso, menilai seruan NU sedikit kebablasan, meski pun maksudnya baik. Menurutnya, tak semua koruptor masuk bui karena praktik korupsi terencana. Sebagian di antaranya melakukan korupsi secara tidak sadar akibat kelalaian administrasi. "Masak Said Agil Munawar yang kyai dan tokoh NU juga tega tidak disalatkan," ujar Priyo.

Terpidana korupsi dana nonbujeter, Rokhmin Dahuri, ikut berkomentar. Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan itu meminta persoalan salat jenazah koruptor dikembalikan kepada ilmu fikih. "Dari sudut pandang Islam, yang tidak boleh disalatkan adalah nonmuslim, dan orang yang munafik," kata Rokhmin saat berbincang dengan VIVAnews.

Terpidana korupsi 4,5 tahun penjara itu menilai, para koruptor itu sudah merasakan hukuman yang lebih saat mendekam di penjara. "Bagaimana dengan orang yang sudah menjalankan hukuman di penjara, masa tidak ada pertobatan. Allah saja memaafkan umatnya jika mau bertobat," ujar Rokhmin yang saat ini tengah menikmati masa pembebasan bersyarat itu.

Selain itu, Rokhmin mencermati sistem peradilan di Indonesia masih kurang adil. "Apa benar orang yang divonis bersalah oleh pengadilan benar melakukan korupsi," ujarnya. "Saat ini saja banyak koruptor yang tidak ditahan oleh penegak hukum. Sistem hukum di Indonesia masih carut marut."

Di tengah pro dan kontra itu, Komisi Pemberantasan Korupsi ikut berpendapat. "Imbauan itu bentuk kegeraman masyarakat terhadap korupsi," ujar Wakil Ketua Bidang Pencegahan KPK, M Jasin.

Menurut dia imbauan itu mungkin muncul lantaran masyarakat melihat korupsi kian merajalela. Padahal undang-undang korupsi sudah ada, aparat penegak hukum juga sudah ada. "Tapi ternyata korupsi jalan terus. Kita seperti kehabisan akal bagaimana cara mencegahnya," kata Jasin.

Lebih jauh, Jasin menambahkan, korupsi adalah bentuk kejahatan luar biasa. Dampaknya dapat memelaratkan masyarakat bahkan negara. "Di sisi lain, penindakan dan pencegahannya belum menimbulkan efek jera," ujarnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts with Thumbnails