Gangster dan kiriminal, dua isu besar Afrika Selatan (Afsel). Karena besarnya, kadang hal itu membuat rasa ingin tahu sangat tinggi.
Saat di Cape Town, kandang gangster, Kompas.com sempat bimbang. Di satu sisi sangat ingin tahu soal gangster dan kehidupannya, di sisi lain ada rasa takut. Namun, janji dengan salah seorang anggota geng Nice Time Kids sudah telanjur dibuat.
Tanggal 6 Juli 2010 waktunya. Kompas.com sudah meminta Anan (bukan nama sebenarnya) untuk dibawa berkunjung ke markas gengnya di daerah Handover, Cape Town. Ini daerah kawasan miskin dan banyak orang menjadi anggota geng demi menyambung hidup atau mengejar kehidupan lebih baik.
"Anda yakin siap berkunjung ke markas geng dan bertemu dengan rekan-rekan kami?" begitu tanya Anan.
Sedikit ragu, Kompas.com akhirnya menganggukkan kepala. Maka, di tengah malam, kami memacu mobil memasuki daerah Handover. Anan sibuk menghubungi rekan-rekannya.
"Awoi... Awoi... One love, one love, my bru!" begitu Anan menelepon rekannya. Dia lalu meminta siapa saja yang ada waktu untuk berkumpul di tempat biasa.
Sekitar pukul 20.30, kami pun masuk ke kawasan flat coloured people. Mereka adalah masyarakat blasteran yang sangat dominan di Cape Town. Lalu, seseorang sudah mencegat. Kami turun dari mobil dan langsung disalami.
"Awoi... Awoi... One love.. One love! Apa kabar, senang bertemu Anda. Mari," kata orang itu.
Kami pun masuk gang-gang semut, melewati tanah-tanah becek, melompati kayu yang melintang dan menghindari atap yang hampir roboh dalam kegelapan. Terkadang kami harus berpijak batu agar tak basah oleh becek akibat limbah kamar mandi. Sepanjang perjalanan, ada saja anjing yang menyalak karena kehadiran kami.
"Tenang, tak apa-apa. Silakan masuk, di sini tempat kami berkumpul," kata orang tersebut.
Kami pun masuk ke ruang sempit yang menjadi markas mereka. Ini ruang serba guna. Ada poster sepak bola tim Ajax Cape Town kebanggaan mereka, beberapa sofa bekas, dan lampu penerang 15 watt. Di sini tempat berkumpul, pesta, tidur, atau sekadar ngobrol. Bentuknya leter "L" dan ukurannya sekitar 3 kali 5 di sisi depan dan 3 kali 5 lagi di ruangan yang menjorok ke dalam.
Lalu, dalam sekejap, muncul beberapa orang dan kami saling memberi salam dan berkenalan. Mereka tak mau menyebutkan nama aslinya, kecuali julukan. Ada yang bernama Kop, Bula, Plama, Wolf, dan sebagainya.
"Ini nama-nama anggota geng. Kami tak bisa menyebut nama asli karena Anda wartawan. Tapi tak apa, mari kita bicara dan bercerita," kata Kop yang tampak dihormati, meski bukan pemimpin geng.
Dia sibuk mengaduk daun ganja kering yang sudah remuk. "Beginilah kami. Kami suka menghisap dagga (ganja). Apalagi ada tamu, kami harus mengeluarkan ganja sebagai penghormatan," kata Kop.
Lalu dia memasukkannya ke dalam potongan botol bagian atas dan memadatkannya. Salah satu rekannya kemudian menyulut dagga (ganja) itu. Mulailah pesta ganja, dan dilakukan secara bergilir. Jika menolak menghisapnya, maka tinggal kepalkan tangan kiri dan ditempelkan ke kepalan tangan kiri yang menawari.
Dalam sekejap, ruangan kecil itu sudah penuh asap ganja. Meski tak ikut menghisap, rasanya ikut pusing dan kepala mulai berat.
"Kami terpaksa bergerak di bawah tanah menjual narkoba. Sebab, kami tak bisa mencari kerja lain. Kehidupan geng menjadi pilihan kami," kata Kop menjelaskan keberadaan mereka.
"Zaman apartheid, privilese menjadi milik kulit putih. Sekarang milik kulit hitam dan putih. Kami orang coloured kesulitan mencari kerja. Kami juga punya cita-cita. Tapi, begitu mau bekerja, kami selalu disisihkan. Orang kulit hitam dan putih lebih didulukan. Maka, jangan salahkan jika kami akhirnya menjadi anggota geng dan menjual narkoba, bahkan ada yang merampok karena terpaksa," ucap Plama.
Beberapa anggota geng ini kemudian tertawa dengan getir. "Kami masyarakat miskin. Tak ada yang bisa kami buat untuk menaikkan taraf hidup. Menjadi anggota geng bisa jadi jalan pintas untuk lebih baik," lanjut Plama.
Suasana pun menjadi cair. Canda dan tawa kemudian mengalir. Kecaman kepada pemerintah, koruptor, dan orang kaya congkak sering terdengar. Sesekali kami tertawa bersama.
Di tengah tawa, tiba-tiba terdengar tembakan bertubi-tubi. Rasanya, tembakan itu tepat di atas ruangan yang kami tempati. Lalu, para anggota geng itu meminta kami tenang.
"Tenang, Anda aman. Ini sudah biasa. Pasti ada perkelahian atau perang geng. Plama, coba kami cek di luar," pinta Kop.
Plama tergopoh-gopoh keluar dari sarang yang rupanya berada di tengah permukiman warga coloured. Lalu, dalam 20 menit, dia kembali lagi. Entah apa yang dia katakan dalam bahasa Afrikaan itu. Yang jelas, dia tampak panik, begitu juga Kop. Kop bahkan langsung berdiri dan meminta kami tetap tenang dan langsung pergi, sementara anggota geng lain mengambil mobil kami.
Tidak lama, muncul seseorang. "Come... come this way! (Mari, lewat jalan sini)," pintanya dalam kegelapan.
Kami pun mengikutinya. Ini jalan lain dan sesekali kaki menendang batu atau benda keras. Lalu, kami masuk rumah orang dan keluar di pintu lain. Rupanya, mobil kami sudah ada di situ. Kami diminta segera masuk, dan sopir langsung tancap gas meninggalkan Handover.
"Go quickly. Pergi cepat, sampai jumpa lagi. Senang bertemu Anda. Suatu saat kita bisa ngobrol lagi," kata orang itu dan kami pun meninggalkan Handover yang sedang kacau karena rupanya ada perang gengster.
Perang gengster sudah jamak terjadi di Cape Town. Biasanya mereka berebut lahan atau pasar narkoba atau perselisihan lain. Jika sudah terjadi konflik, maka biasanya hal itu langsung menjadi perang antargeng yang melibatkan pistol.
Di Afsel, pistol beredar begitu bebasnya, terutama senjata ilegal. Dengan uang 100 rand (sekitar Rp 130.000) saja kadang kita bisa mendapat satu pistol.
Lebih dari itu, maskulinitas sangat diagungkan orang Afsel. Itu warisan kehidupan tribal juga bagian dari budaya mereka. Lelaki harus tangguh dan mendominasi. Ada berbagai macam simbol terkait kegagahan lelaki. Di kalangan geng, pistol bisa menjadi simbol kejantanan dan kegagahan. Jadi, banyak orang berusaha memiliki pistol.
Jika terjadi konflik, maka mereka tak ragu menggunakan pistol. Wajar jika banyak pembunuhan. Bahkan, dalam catatan Pemerintah Afsel, dalam sehari rata-rata ada 50 pembunuhan di Afsel.